Selasa, 03 Juni 2014

Asal Usul Telaga Ngebel


Dahulu kala waktu Ki Ageng Mangir merantau ke Jawa Timur sampai di Daerah Kabupaten Ngrowo yang akhirnya menjadi Tulungagung sedang Istrinya bernama Roro Kijang yang ikut serta merantau, pada hari waktu Roro Kijang hendak makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang namun tak dapat menemukan, akhirnya minta pisau kepada Suaminya oleh Suaminya diberi Pisau Pusaka Seking, dengan berpesan kepada Istrinya :
- Agar lekas dikembalikan
- Jangan sekali pisau itu ditaruh dipangkuannya.
Pisau Pusaka Seking diterima dan terus dipergunakan untuk membelah pinang, sambil makan sirih ia duduk – duduk, dengan enak ia menikmati rasa daun sirih dan Pinangnya. Kemudian lupa pesan Suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh diatas pangkuannya, tetapi apa yang terjadi ia amat terkejut dan heran karena pisau diatas pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.
Dengan ratap dan tangis ia menceritakan apa yang terjadi dan yang telah dialami kepada Ki Ageng Mangir. Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan untuk menebus kesalahannya ini Roro Kijang harus bertapa di tengah – tengah Rawa.
Roro Kijang menerima segala kesalahan yang dilimpahkan kepadanya dan dengan rasa sedih hati ia melaksanakan perintah Suaminya bertapa di tengah Rawa sedang Ki Ageng Mangir lalu kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah barat.
Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar seperti orang bunting, tepatnya waktu itu ia melahirkan tetapi apa yang terjadi, ia tidak melahirkan seorang anak manusia melainkan seekor ular,

sekalipun ular tetapi tidak sembarang ular ia ular yang Ajaib kulitnya bercahaya berkilauan seperti emas kepalanya seperti Mahkota.
Roro Kijang terkejut dan sangat takut serta merasa malu untung tak ada rang mengetahuinya. Roro Kijang lalu mengambil sebuah Kelinting yang libawanya lalu dipasang pada leher si Ular kemudian di tutup dengan empayan setelah itu Roro Kijang pindah bertapa dilain tempat.
Bayi Ular semakin lama semain besar sehingga tempayan tempat ia terkurung makin lama makin sesak lama kelamaan tempayannya pecah dan alar dapat keluar.
Diluar ular makin lama bertambah semakin besar dan kuat kulitnya kena sinar Matahari semakin terang dan bercahaya gemerlapan.
Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak – gerakan kepalanya sehingga kelenting dileherya berbunyi : klinting – klinting, karena ia merasa hidup sendirian maka timbulah pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang melahirkan mereka / dirinya dan siapakah kedua Orang tuanya. Akhirnta timbulah niat untuk mencari kedua Orang tuanya dan dilihatnya dari jauh ada seorang sedang bertapa. Yang akhimya orang pertapa tadi adalah ibunya yaitu Roro Kijang, yang selanjutnya memberi nama kepada anaknya dengan nama Baru Klinting.
Atas pesan dan saran Ibunya yaitu Roro Kijang. Baru Klinting disuruh nenyusul / mencari orang tuanya yang sedang bertapa digunung Wilis, Baru klinting lalu berjalan menuju ke gunung Wilis karena yang dituju jauh dan sudah payah lalu ia berhenti. Bekas tempat istirahat akhirnya menjadi desa yang bernama Desa Baru Klinting masuk Kabupaten Tulungagung. Ki Ageng Mangir setelah bertapa di Gunung Wilis ia berubah nama menjadi Ajar Solokantoro, ketika ia sedang bertapa datanglah Baru Klinting dihadapan-nya. sebagai seorang pertapa yang telah tinggi Ilmunya, ia telah dapat mengetahui apa yang telah terjadi, terutama rentetan dengan peristiwa hilangnya pisau pusaka Seking dahulu.
Sedatangan Baru Klinting mengutarakan maksudnya sesuai petunjuk bunya Roro Kijang bahwa yang pertapa di sini adalah Ayahnya dan Ajar Solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut perintahnya dahulu yaitu : Lingkarilah Gunung Wilis ini dari ujung ekor sampai kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini maka akan diterima sebagai anaknya.
Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari kaki Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal sepanjang jari saja. Untuk mencapai Ekornya maka dengan seijinnya Baru Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-panjangnya sampai ke Ujung ekor, setelah lidah Baru Klinting dijulurkan sampai ke ekor maka pertapa lalu mencabut pisau, lidah Baru Klinting lalu di potong seketika itu juga putuslah lidah Baru Klinting yang sebelah dan lidah yang sebelah masih menyambung ekor sedang baru kliting sendiri kesakitan. Dengan menahan sakit maka marahlah Baru Klinting ditariknya ekor dan mengagah mulutnya akan menelan sang Ayah, tetapi setelah diberi pengertian bahwa apabila ingin menjadi manusia agar jangan mempunyai lidah bercabang dua jadi harus dipotong yang satunya, atas saran sang Ayah maka ditelanlah potongan lidah yang satu tetapi harus dikeluarkan lagi dan jangan dikeluarkan melalui mulut.
Lidah dikeluarkan melalui telinga tetapi keluarlah sebuah pusaka yang disebut Tobak Baru Klinting yang kelak sangat bermanfaat untuk Baru Klinting.
Atas petunjuk Sang Ayah maka Baru Klinting meneruskan bertapa sampai berpuluh tahun didalam hutan. Lama-kelamaan badannya tertimbun oleh daun dan tanah sehingga sebagian badan yang tidak terpendam kelihatan seperti batang kayu, bagian kepala saja yang dapat kelihatan terang muncul disuatu desa yang dinamakan desa “Sirah Naga” termasuk Kecamatan Millir Kabupaten Madiun.
Pada suatu hari didesa Ngebel dilereng Gunung Wilis akan mengadakan Bersih desa pelaksanaannya dipusatkan dirumah Kepala Desa segala biaya dipikul oleh Rakyat dalam desa untuk menghemat biaya semua warga desa laki-laki supaya masuk hutan mencari binatang buruan baik Kijang, Rusa ataupun yang lainnya untuk lauk pauk dalam pesta Rakyat nanti.

Pada pagi harinya orang desa yang laki-laki berduyun-duyun masuk ke hutan dan mereka membawa parang, kapak sabit dan, keranjang dan tali, tapi nasib sedang sial padanya hampir seharian tak seekorpun dapat 1 buruannya, semua lelah dan payah, oleh Pimpinannya diperintahkan untuk berhenti di tempat masing-masing sambil menunggu kalau ada buruan yang terlihat. Diantara sekian banyak ada seorang yang duduk sambil
mengayunkan kapaknya ke batang kayu, anehnya kayu itu mengeluarkan darah, ia amat terkejut sambil berteriak. Karena batang kayu itu mengeluarkan darah maka yang lainpun mencoba mengiris batang kayu tapi keluar darah yang banyak.
Semua riang gembira. Mereka beramai-ramai membawa pulang hasil buruan dan dimasak bersama-sama dirumah Kepala Desa. Sehari semalam di dopo Kepala Desa diadakan keramaian, semua Rakyat didesa laki-laki dan perempuan, tua muda datang melihatnya Orang tua didalam Rumah dan anak-anak di halaman rumah. Sewaktu anak-anak sedang bermain di luar rumah, datanglah seorang anak compang-camping Pakaiannya dan banyak luka di badannya, dimana anak itu datang mendekati anak-anak tapi anak-anak itu malah menjauh.
Ia merasa muak melihat anak itu datang merasa dihina oleh kawan-kawannya, maka ia lalu pergi ke Dapur minta nasi, semua orang benci melihatnya dan tak ada seorangpun mau memberi nasi. Kemudian datang seorang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan pindang ing sate nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis. Perutnya yang dan badannya menjadi kuat, aneh bin Ajaib semua luka-luka di badannya hilang dan bentuk badannya menjadi baik seperti anak-anak di desa itu.
Ia mendekati nenek tua itu yang telah memberi nasi tadi dan berpesan kepada nenek tadi apabila ada apa-apa agar nenek tadi membawa entong (ciduk nasi) dan lekas saja naik lesung, lalu ia meninggalkan nenek itu dan berkumpul dengan anak-anak desa.
Dengan membawa sebuah sapu lidi ia masuk kelingkaran tempat anak-anak bermain seraya menantang kepada anak-anak desa itu, bahwa siapa yang bisa mencabut lidi yang baru ditancapkan ditanah akan diberi hadiah sebungkus nasi penuh dengan daging. Semua anak datang mencobanya tetapi tak berhasil malahan orang tuapun datang ingin mencobanya men­cabut lidi tetapi juga tidak ada yang berhasil. Dengan berpesan kepada orang desa itu bahwa orang kikir itu tidak baik dan tidak mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan jangan berlagak sombong dan suka menghina orang lain. Akhirnya anak kecil itu dengan perlahan-lahan mencabut lidi yang tertancap tadi dengan mudahnya seolah-olah timbul sebuah mata air yang besar dan menggenangi halaman dan pekarangan kepala desa.
Oleh karena derasnya air maka anak-anak dan Orang tua jatuh tenggelam semua orang mati dan segala Bangunan roboh terapung- apung sebentar saja desa itu tenggelam dan menjadi Danau yang selanjutnya dinamakan ” danau Ngebel “.
Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan Entong sebagai alat pendayung. Nenek tua bersama anak kecil tadi menjalankan perahunya ketepi danau lalu mendarat. Tempat mendarat ini ditepi pasar Ngebel nenek tua tadi tinggal dan menetap disitu sampai ajalnya dan dimakamkan ditengah-tengah Pasar Ngebel. Akhirnya nenek tua itu disebut “Nyai Latung” dan telaga tadi disebut dengan sebutan ” Telaga Ngebel".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar